Terbaru



Bagi seorang muslim Al-Quran adalah sumber utama dalam menentukan hukum syariat. Al-Quran memiliki banyak keutamaan dan keistimewaan. 

Dimana keutamaan tersebut juga berpengaruh terhadap siapapun dan apapun yang bersinggungan dengannya.

Allah menjadikan Malaikat Jibril sebagai pembawanya, maka Jibril menjadi malaikat terbaik dan paling mulia.

Malam yang diturunkannya Al-Quran, menjadi malam terbaik yaitu malam lailatul qodr
Demikian juga bulan diturunkan Al-Quran menjadi bulan terbaik yaitu Ramadhan
Nabi yang mendapat amanah untuk menyampaikannya menjadi Nabi terbaik yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alahi wa sallam.

Dan umat yang kepadanya Al-Quran diturunkan menjadi umat terbaik 

Maka kitab kecil ini, menerangkan kepada kita tentang keutamaan-keutamaan tersebut, keutamaan orang yang mempelajarinya, membacanya dan mengamalkannya, serta adab dan hal-hal yang berkaitan tentang Al-Quran.

Kitab ini diberi judul Al Arba'un Al Quraniyah, ditulis oleh seorang ulama bernama Ahmed bin Abdul Razzaq bin Sheikh Muhammad bin Zaid bin Ibrahim bin Sheikh Abdul Wahhab Ali Ibrahim Al-Anqari Al-Tamimi

Semoga bermanfaat dan menjadi timbangan kebaikan bagi penulis dan orang yang mepelajarinya serta menyebarkannya. Aamiin...

Link Download
https://drive.google.com/file/d/1MUqSmZ701OZdJ6vqfdNyvaIMUO1ztdmt/view?usp=sharing



Menuntut ilmu agama adalah sebuah kewajiban bagi seorang muslim, yang dengannya ia memahamai agamanya dan dapat beramal sesuai dengan apa yang Allah dan RasulNya perintakan.

Akan tetapi, ada hal yang tak kalah penting selain ilmu yang kita harus pelajari. Bahkan hal ini harus dipelajari sebelum kita menuntut ilmu itu sendiri.

ya... itu adalah Adab dan Akhlaq

Saking pentingnya adab dan akhlaq, Rasulullah mengatakan bahwa adab dan akhlaq merupakan kesempurnaan iman. 

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda

أكملُ المؤمنين إيمانًا أحسنُهم خُلقًا

“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR.Tirmidzi no. 1162, ia berkata: “hasan shahih”).

Bahkan Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlaq itu sendiri,

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّما بعثتُ لأتمِّمَ مَكارِمَ الأخلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 45)

Sahabat Al Qur'an...

Begitu pentingnya akhlak dan adab hingga Allah Ta'aala menempatkanya sebagai hal yang paling utama. Sebab, kepintaran tidak ada artinya apabila seseorang tidak memiliki adab (etika). Ilmu menjadi berbahaya bagi pemiliknya dan orang lain karena tidak dihiasi akhlak.

Oleh karena itu, para ulama memberikan perhatian khusus tentang masalah ini dan saling berwasiat tentangnya. 

Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث

“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.”

Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Begitulah pentingnya adab dan akhlaq dalam bagi seorang penuntut ilmu, ia bagaikan tali kekang yang mengarahkan tungangan ke arah yang benar.

Semoga Allah menganugrahkan kepada kita adab dan akhlak yang baik, sehingga ilmu yang kita tunut bermanfaat dan membawa keberkahan pada kehidupan kita.

اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau"




Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang anak-anaknya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.” [HR. al-Bukhâri]

Maka orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya.

Dengan demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah

Referensi: https://almanhaj.or.id/3466-orang-tua-bertanggung-jawab.html




Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).

Makna yang begitu dalam dari Hadist yang mulia di atas yang perlu kita perhatikan adalah bahwa sesungguhnya ketiga amalan yang bermanfaat bagi seseorang setelah ia meninggal, tidak lain hanya akan didapat oleh seseorang sebagai buah dari pendidikannya terhadap anak-anaknya. Berbeda dengan amalan lain, yang terkadang tidak mampu mencangkup ketiga hal tersebut.

Seorang anak yang mendapat pendidikan islam dari orang tuanya, orang tuanya mengajarkan shalat, puasa, membaca Al Quran, dan amalan lainnya. Kemudian anak itu pun shalat, puasa, membaca Al Qur’an, dan beramal sesuai apa yang diajarkan orangtuanya.

Maka, orangtuanya pun akan diberikan pahala shalat, sebagaimana pahala shalat anaknya, mendapatkan pahala puasa sebagaiamana puasa anaknya, dan seterusnya. Ini merupakan poin pertama, bahwa mendidik anak adalah pahala jariyah.

Dan apa yang orang tuanya ajarkan berupa ilmu, yang ia beramal dengan imu tersebut merupakan ilmu yang bermanfaat baginya. Sehingga orang tuanya pun mendapatkan pahala yang terus mengalir dari apa yang telah ia ajarkan.

Kemudian hal ketiga, tatkala seorang mendidik anaknya dengan baik dalam pendidikan islam. Iapun akan berbakti kepadanya, dan salah satu bentuk baktinya adalah mendoakannya tatkala ia telah wafat.

عن أَبِي هُريرةَ ، أَنَّ رسولَ اللَّه ﷺ قالَمَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لا يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أُجُورِهِم شَيْئًا، ومَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لا يَنْقُصُ ذلكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا رواه مسلم

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang menunjuki kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikitpun. Barang siapa yang menunjuki kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang tersebut sedikitpun. (HR. Muslim)

Barang siapa yang belajar dari orang tuanya keburukan, meminum khamr misalnya atau menonton film atau video porno. Maka bagi orangtuanyalah dosa, sebagaimana dosa anaknya yang melakukan perbuatan buruk tersebut. Na’udzubillah…

Semoga kita Allah jadikan orang tua yang selalu mengajarkan dan mengajak anak2 kita kepada kebaikan dan kebenaran, sehingga kita termasuk orang yang mendapat pahala yang terus mengalir walaupun kita sudah wafat. Aamiiin…



Menurut bahasa kata Al Qur’an merupakan mashdar yang maknanya sinonim dengan kata qira’ah (bacaan). Al Qur’an dengan arti qira’ah ini, sebagaimana dipakai dalam ayat 17, 18 surat Al Qiyamah:

إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ   فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ 

Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”

Paling tidak ada lima pendapat para ulama yang menerangkan pengertian Al Qur’an menurut bahasa ini, yakni:

1)    Al-Lihyani (wafat 355 H) dan kebanyakan ulama mengatakan bahwa kata Al Qur’an itu adalah lafal mashdar yang semakna dengan lafal qiraa’atan, ikut wazan fu’lana yang diambil dari lafal: Qira’a-yaqra’u-qiraa’atan dan seperti lafal: Syakara-syukraana dan Ghafara-Ghufraana dengan arti kumpul atau menjadi satu. Sebab, huruf-huruf dan lafal-lafal ada kalimat Al Qur’an yang terkumpul menjadi satu dalam mushhaf.

Dengan demikian, kata Qur’an berupa Mahmuz yang hamzahnya asli dan “nun”nya zaidah (tambahan). Contohnya seperti dalam ayat 17-18 surat Al Qiyamah.

2)    Az-Zujaj (wafat 311 H) mengatakan bahwa lafal Al Qur’an itu berupa isim sifat, ikut wazan fu’lan, yang diambil dari kata: Al Qar’u yang berarti kumpul pula. Sebab, semua ayat, surat, hukum-hukum, dan kisah-kisah Al Qur’an itu berkumpul menjadi  satu. Al Qur’an mengumpulkan intisari semua kitab-kitab suci dan seluruh ilmu pengetahuan.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam ayat 89 surat An-Nahl dan ayat 38 surat Al An’am:

وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ  ٨٩

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَٰٓئِرٖ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ يُحۡشَرُونَ  ٣٨

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”

3)    Abu Musa Al-Asy’ari (wafat (324 H) mengatakan bahwa lafal Qur’an itu adalah isim musytaq ikut wazan fu’lan, yang diambil dari kata al-qarnu seperti dari kalimat: Qarantu Asy-Sya’ia bis Sya’i, yang berarti “Saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.” Kitab Al Qur’an dinamakan demikian, karena ayat-ayat, surat-surat dan huruf-hurufnya berkumpul menjadi satu dalam mushaf Al Qur’an itu. Jadi, menurut pendapat ini, lafal Qur’an itu bukan isim mahmuz, sehingga “nun”nya asli, dengan hamzahnya zaidah.

4)    Al-Farra’ (wafat 207 H) mengatakan bahwa kata Al Qur’an itu berupa isian musytaq ikut wazan fu’lan, diambil dari lafal Al Qura’in, bentuk jamak dari qarinah yang berarti bukti. Kitab Qur’an dinamakan demikian, karena sebagiannya membuktikan kebenaran sebagian yang lain. Jadi, menurut pendapat ini, lafal Qur’an juga bukan isim mahmuz, sehingga hamzahnya zaidah dan “nun”nya yang asli.

5)    Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H) berpendirian bahwa lafal Qur’an itu bukan isim musytaq yang diambil dari kata yang lain, melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak mula diciptakannya sudah berupa isim alam (nama), yakni nama dari kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan selalu disertai dengan alif lam atau “al”. jadi, bukan isim mahmuz, dan bukan isim musytaq, serta tidak pernah lepas dari “al” (alif dan lam).

 

Dari kelima pendapat tersebut, pendapat pertama yang lebih tepat. Sebab, pendapat pertama tersebut relevan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ilmu sharaf, sedangkan empat pendapat yang lain terlepas dari kaidah-kaidah nahwu dan syaraf serta tidak relevan dengan ungkapan bahasa Arab.

Kata Al Qur’an itu dipindahkan dari makna masdar ini dan dijadikan sebagai nama dari Kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Jadi, kata Al Qur’an adalah dari bentuk mengucapkan masdar, tetapi yang dikehendaki dari kata maf’ul (yang dibaca).

 

Menurut istilah, Al Qur’an itu mempunyai arti sebagai berikut:

Pertama, para ahli Ilmu Kalam (teologi Islam) berpendapat, Al Qur’an adalah kalimat-kalimat yang maha bijaksana yang azali yang tersusun dari huruf-huruf lafdhiyah, dzihniyah dan ruhiyah atau Al Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari awal surat Al Fatihah sampai dengan surat An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan dan azali.

Kedua, para Ulama Ushuliyyin, fuqaha dan Ulama Ahli Bahasa, berpendapat bahwa Al Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai awal dari Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. Di antara mereka ada yang memberikan definisi Al Qur’an dengan singkat dan padat, yang hanya dengan menyebutkan satu atau dua identitasnya saja, seperti: “Al Qur’an adalah Kalam yang dirutunkan kepada Nabi” Dan “Al Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi dari awal Surat Al Fatihah sampai surat An Nas.”

Menurut Ali Ash-Shabuni, Al quran didefinisikan sebagai suatu firman dari Allah Swt. yang tidak ada tandingannya, diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang merupakan penutup para nabi dan rasul melalui perantara malaikat Jibril.

Al quran ditulis pada mushaf-mushaf dan lalu disampaikan kepada kita penerus umat secara mutawatir. Sementara itu, membaca dan memahami Al quran bernilai ibadah

Menurut Dr. Subhi As-Salih, Al quran merupakan kalam Allah Swt. yang merupakan mukjizat dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.

Menurut Syekh Muhammad Khuderi Beik, Al quran adalah firman dari Allah Swt. yang berbahasa Arab dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dipahami isinya, disampaikan kepada penerus umat secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surat An-Naas

Dr. A. Yusuf Al-Qasim memberikan definisi Al Qur’an secara panjang lebar dengan menyebutkan identitasnya: “Al Qur’an ialah Kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushhaf yang diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya adalah ibadah”

Demikian secara panjang lebar dijelaskan definisi Al Qur’an. Pendefinisian Al Qur’an tersebut mencakup unsur-unsur yang i’jaz, diturunkan kepada Nabi, tertulis di dalam mushhaf-mushhaf, diriwayatkan dengan mutawatir dan membacanya adalah ibadah. Inilah keistimewaan-keistimewaan agung yang membedakan Al Qur’an dengan kitab-kitab samawiyah yang lain