Saudaraku sekalian, manusia adalah makhluk
yang paling sempurna dibandingkan dengan makluk-makhluk lain yang Alloh
ciptakan. Alloh memberikannya akal pikiran dan mata hati, yang membedakannya
dengan makhluk yang lain. Untuk mengembangkan kemampuan pikiran dan hati
tersebut, Alloh karuniakan kepada manusia panca indra yang digunakan untuk
mencerna berbagai informasi yang didapat. Alloh berfirman :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [١٦:٧٨
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur. (An Nahl : 78)
Dan dengan berbagai informasi yang dicerna
panca indra itulah manusia memiliki berbagai pengetahuan sesuai banyak
sedikitnya informasi yang masuk dan dicerna. Sebagai banyak informasi yang
didapat maka, akan semakin banyak pengetahuan yang didapat orang tersebut.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah, tingkatan pengetahuan seseorang itu dibagi menjadi 6 tingkatan :
1. Al Ilmu, yaitu pengetahuan seseorang
terhadap sesuatu sesuai dengan hakikatnya, dengan pengetahuan yang jelas. Seperti
seseorang yang mengetahui akan kewajiban shalat 5 waktu, dia hafal dan faham Ayat
Al Qur’an dan Hadist, serta pendapat ulama yang berbicara tentang kewajiban
shalat 5 waktu.
2. Al Jahlul Basith, yaitu tidak adanya
pengetahuan sedikitpun terhadap sesuatu pada diri seseorang secara menyeluruh. Seperti
seseorang yang tidak mengetahui sama sekali tentang hukum waris, tidak faham
dan tidak hafal, bahkan tidak tahu Ayat Al Qur’an atau Hadist Rasul yang
berbicara tentang waris sama sekali.
3. Al jahlul Murakab, yaitu pengetahuan
seseorang terhadap sesuatu yang berlawanan dengan hakikat sebernarnya. Seperti seseorang
yang meyakini bahwa semua agama itu sama, dan bertentangan dengan dalil dari Al
Qur’an dan As Sunnah tentang kebenaran agama islam.
4. Al Wahm, yaitu pengetahuan seseorang
terhadap sesuatu yang berlawanan dengan yang Rajih/kuat (condong terhadap yang
lemah/prasangka lemah). Seperti seseorang yang ragu apakah sesuatu itu halal
atau haram (Syubhat), kemudian tanpa bertanya dan tanpa ilmu dia condong dengan
yang halal. Kemudian ia halalkan.
5. Asy Syak, yaitu pengetahuan seseorang
terhadap sesuatu dengan kemungkinan sama antara yang rajih/ kuat dengan yang marjuh/ lemah. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah
kebimbangan antara dual hal yang mana seseorang itu tidak dapat memilih dan
menguatkan salah satunya. Namun apabila masih dapat menguatkan salah satunya
maka hal itu tidak dinamakan dengan Syakk/ (الشَكُّ).
6. Azh Zhan, yaitu pengetahun seseorang terhadap
sesuatu dengan kemungkinan yang kuat terhadap yang benar (prasangka kuat). Seperti
seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal atau haram, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasar
dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan
kuat inilah yang dinamakan dengan Zhann/ (الظَنُّ).
Adapun Ilmu itu sendiri dibagi
menjadi dua bagian:
Pertama, Ilmu Dharuri, yaitu
pengetahuan tentang sesuatu secara pasti tanpa memerlukan penelitian dan
pembuktian dalil. Seperti pengetahuan bahwa api itu panas.
Kedua, Ilmu Nazhari,
yaitu pengetahuan yang membutuhkan penelitian dan pendalila. Seperti pengetahuan
wajibnya niat dalam wudhu.
Demikian tulisan singkat ini,
semoga bermanfaat dan menjadi pemberat amal di Yaumul Mizan kelak. Aamiin…
Sumber :
Syarh Tslatsatul Ushul,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin