Articles by "Al Qur'an"
Tampilkan postingan dengan label Al Qur'an. Tampilkan semua postingan


Bagi seorang muslim Al-Quran adalah sumber utama dalam menentukan hukum syariat. Al-Quran memiliki banyak keutamaan dan keistimewaan. 

Dimana keutamaan tersebut juga berpengaruh terhadap siapapun dan apapun yang bersinggungan dengannya.

Allah menjadikan Malaikat Jibril sebagai pembawanya, maka Jibril menjadi malaikat terbaik dan paling mulia.

Malam yang diturunkannya Al-Quran, menjadi malam terbaik yaitu malam lailatul qodr
Demikian juga bulan diturunkan Al-Quran menjadi bulan terbaik yaitu Ramadhan
Nabi yang mendapat amanah untuk menyampaikannya menjadi Nabi terbaik yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alahi wa sallam.

Dan umat yang kepadanya Al-Quran diturunkan menjadi umat terbaik 

Maka kitab kecil ini, menerangkan kepada kita tentang keutamaan-keutamaan tersebut, keutamaan orang yang mempelajarinya, membacanya dan mengamalkannya, serta adab dan hal-hal yang berkaitan tentang Al-Quran.

Kitab ini diberi judul Al Arba'un Al Quraniyah, ditulis oleh seorang ulama bernama Ahmed bin Abdul Razzaq bin Sheikh Muhammad bin Zaid bin Ibrahim bin Sheikh Abdul Wahhab Ali Ibrahim Al-Anqari Al-Tamimi

Semoga bermanfaat dan menjadi timbangan kebaikan bagi penulis dan orang yang mepelajarinya serta menyebarkannya. Aamiin...

Link Download
https://drive.google.com/file/d/1MUqSmZ701OZdJ6vqfdNyvaIMUO1ztdmt/view?usp=sharing


Menurut bahasa kata Al Qur’an merupakan mashdar yang maknanya sinonim dengan kata qira’ah (bacaan). Al Qur’an dengan arti qira’ah ini, sebagaimana dipakai dalam ayat 17, 18 surat Al Qiyamah:

إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ   فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ 

Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”

Paling tidak ada lima pendapat para ulama yang menerangkan pengertian Al Qur’an menurut bahasa ini, yakni:

1)    Al-Lihyani (wafat 355 H) dan kebanyakan ulama mengatakan bahwa kata Al Qur’an itu adalah lafal mashdar yang semakna dengan lafal qiraa’atan, ikut wazan fu’lana yang diambil dari lafal: Qira’a-yaqra’u-qiraa’atan dan seperti lafal: Syakara-syukraana dan Ghafara-Ghufraana dengan arti kumpul atau menjadi satu. Sebab, huruf-huruf dan lafal-lafal ada kalimat Al Qur’an yang terkumpul menjadi satu dalam mushhaf.

Dengan demikian, kata Qur’an berupa Mahmuz yang hamzahnya asli dan “nun”nya zaidah (tambahan). Contohnya seperti dalam ayat 17-18 surat Al Qiyamah.

2)    Az-Zujaj (wafat 311 H) mengatakan bahwa lafal Al Qur’an itu berupa isim sifat, ikut wazan fu’lan, yang diambil dari kata: Al Qar’u yang berarti kumpul pula. Sebab, semua ayat, surat, hukum-hukum, dan kisah-kisah Al Qur’an itu berkumpul menjadi  satu. Al Qur’an mengumpulkan intisari semua kitab-kitab suci dan seluruh ilmu pengetahuan.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam ayat 89 surat An-Nahl dan ayat 38 surat Al An’am:

وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ  ٨٩

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَٰٓئِرٖ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ يُحۡشَرُونَ  ٣٨

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”

3)    Abu Musa Al-Asy’ari (wafat (324 H) mengatakan bahwa lafal Qur’an itu adalah isim musytaq ikut wazan fu’lan, yang diambil dari kata al-qarnu seperti dari kalimat: Qarantu Asy-Sya’ia bis Sya’i, yang berarti “Saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.” Kitab Al Qur’an dinamakan demikian, karena ayat-ayat, surat-surat dan huruf-hurufnya berkumpul menjadi satu dalam mushaf Al Qur’an itu. Jadi, menurut pendapat ini, lafal Qur’an itu bukan isim mahmuz, sehingga “nun”nya asli, dengan hamzahnya zaidah.

4)    Al-Farra’ (wafat 207 H) mengatakan bahwa kata Al Qur’an itu berupa isian musytaq ikut wazan fu’lan, diambil dari lafal Al Qura’in, bentuk jamak dari qarinah yang berarti bukti. Kitab Qur’an dinamakan demikian, karena sebagiannya membuktikan kebenaran sebagian yang lain. Jadi, menurut pendapat ini, lafal Qur’an juga bukan isim mahmuz, sehingga hamzahnya zaidah dan “nun”nya yang asli.

5)    Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H) berpendirian bahwa lafal Qur’an itu bukan isim musytaq yang diambil dari kata yang lain, melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak mula diciptakannya sudah berupa isim alam (nama), yakni nama dari kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan selalu disertai dengan alif lam atau “al”. jadi, bukan isim mahmuz, dan bukan isim musytaq, serta tidak pernah lepas dari “al” (alif dan lam).

 

Dari kelima pendapat tersebut, pendapat pertama yang lebih tepat. Sebab, pendapat pertama tersebut relevan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ilmu sharaf, sedangkan empat pendapat yang lain terlepas dari kaidah-kaidah nahwu dan syaraf serta tidak relevan dengan ungkapan bahasa Arab.

Kata Al Qur’an itu dipindahkan dari makna masdar ini dan dijadikan sebagai nama dari Kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Jadi, kata Al Qur’an adalah dari bentuk mengucapkan masdar, tetapi yang dikehendaki dari kata maf’ul (yang dibaca).

 

Menurut istilah, Al Qur’an itu mempunyai arti sebagai berikut:

Pertama, para ahli Ilmu Kalam (teologi Islam) berpendapat, Al Qur’an adalah kalimat-kalimat yang maha bijaksana yang azali yang tersusun dari huruf-huruf lafdhiyah, dzihniyah dan ruhiyah atau Al Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari awal surat Al Fatihah sampai dengan surat An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan dan azali.

Kedua, para Ulama Ushuliyyin, fuqaha dan Ulama Ahli Bahasa, berpendapat bahwa Al Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai awal dari Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. Di antara mereka ada yang memberikan definisi Al Qur’an dengan singkat dan padat, yang hanya dengan menyebutkan satu atau dua identitasnya saja, seperti: “Al Qur’an adalah Kalam yang dirutunkan kepada Nabi” Dan “Al Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi dari awal Surat Al Fatihah sampai surat An Nas.”

Menurut Ali Ash-Shabuni, Al quran didefinisikan sebagai suatu firman dari Allah Swt. yang tidak ada tandingannya, diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang merupakan penutup para nabi dan rasul melalui perantara malaikat Jibril.

Al quran ditulis pada mushaf-mushaf dan lalu disampaikan kepada kita penerus umat secara mutawatir. Sementara itu, membaca dan memahami Al quran bernilai ibadah

Menurut Dr. Subhi As-Salih, Al quran merupakan kalam Allah Swt. yang merupakan mukjizat dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.

Menurut Syekh Muhammad Khuderi Beik, Al quran adalah firman dari Allah Swt. yang berbahasa Arab dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dipahami isinya, disampaikan kepada penerus umat secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surat An-Naas

Dr. A. Yusuf Al-Qasim memberikan definisi Al Qur’an secara panjang lebar dengan menyebutkan identitasnya: “Al Qur’an ialah Kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushhaf yang diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya adalah ibadah”

Demikian secara panjang lebar dijelaskan definisi Al Qur’an. Pendefinisian Al Qur’an tersebut mencakup unsur-unsur yang i’jaz, diturunkan kepada Nabi, tertulis di dalam mushhaf-mushhaf, diriwayatkan dengan mutawatir dan membacanya adalah ibadah. Inilah keistimewaan-keistimewaan agung yang membedakan Al Qur’an dengan kitab-kitab samawiyah yang lain

 


Biografi rawi hadist

Utsman bn Affan, beliau adalah amirul mu’minin, Abu Abdillah, ada yang mengatakan Abu Amr, Utsman bin Affan bin Abi Al ‘Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdil Manaf bin Qushoy bin Kilaab  Al Umawiy  Al Qurosy .

Ada yang mengatakan, dahulu pada masa jahiliyah kunyahnya adalah Abu Amr. Ketika Ruqoyyah binti Rasulillah melahirkan Abdullah, maka beliau berkunyah dengan nama tersebut.

Ibunya adalah Arwa binti Kuraizi bin Rabi’ah bin Habib bin Abdi Syams. Beliaun masuk islam diawal islam, melalui sahabat beliau yaitu Abu Bakar beliau mengutarakan keinginannya unruk masuk islam. Kemudian Abu Bakr membawa beliau untuk menemui Rasulullah, dan beliau menucapkan syahadat didepan Rasulullah.

Beliau berhijarah ke Habaysah pada masa islam terpuruk di makkah, dan kembali setelah keadaan mulai sedikit membaik. Dan hijrah ke Madinah bersama rombongan gelombang ketiga kaum muslimin yang berhijrah ke madinah.

Beliau tidak mengikuti perang Badr, karena istri beliau sedang sakit. Dan tidak menghadiri baiatur ridwan, karena beliau diutus Rasulullah untuk menemui Abu Sofyan dan pembesar Kaum Quraisy.

Beliau dijuluki Dzun Nurain, karena beliau menikahi dua putri Rasulullah yaitu Ruqoyyah dan Ummu Kultsum.

Beliau diangkat menjadi khalifah di awal hari bulan muharam tahun 24 H, dan dibunuh pada hari jumat tanggal 18 Dzul hijjah tahun 35 H ada yang mengatakan tanggal 13. Beliau dibunuh oleh Al Aswad  At Tajibiy dari mesir, ada yang mengatakan orang lain dari kelompok orang yang menyerang beliau di rumah beliau sendiri. Dan dimakamkan pada malam sabtu di baqi, beliau wafat pada umur 82 tahun da nada yang mengatakan 88 tahun da nada yang mengatakan 90 tahun. Beliau menjabat menjadi khalifah selama 12 tahun kurang beberapa hari.

Hadist :

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .

 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”

Dalam hadits riwayat Al-Bukhari dari Utsman bin Affan, tetapi dalam redaksi yang agak berbeda, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .

“Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”

Dalam dua hadits di atas, terdapat dua amalan yang dapat membuat seorang muslim menjadi yang terbaik di antara saudara-saudaranya sesama muslim lainnya, yaitu belajar Al-Qur`an dan mengajarkan Al-Qur`an. 

Al-Qur`an adalah kalam Allah, sebagai mana zat Allah yang agung dan sempurna. Maka, Al Qur'an pun merupakan kalam yang paling sempurna dan tidak ada kekurangan didalamnya.  

Karena keutamaan yang tinggi inilah, yang membuat Abu Abdirrahman As-Sulami –salah seorang yang meriwayatkan hadits ini– rela belajar dan mengajarkan Al-Qur`an sejak zaman Utsman bin Affan hingga masa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.

Hadis ini menunjukkan akan keutamaan membaca Alquran. Suatu ketika Sufyan Tsauri ditanya, manakah yang engkau cintai orang yang berperang atau yang membaca Alquran? Ia berkata, membaca Alquran, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”.

Imam Abu Abdurrahman As-Sulami tetap mengajarkan Alquran selama empat puluh tahun di mesjid agung Kufah disebabkan karena ia telah mendengar hadis ini. Setiap kali ia meriwayatkan hadis ini, selalu berkata: “Inilah yang mendudukkan aku di kursi ini”.

Al Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya Fadhail Quran halaman 126-127 berkata: [Maksud dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkan kepada orang lain” adalah, bahwa ini sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang menular kepada orang lain.

Pemahaman yang salah!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhori).

 

Di antara pemahaman yang salah dalam memahami hadis di atas adalah membatasi golongan manusia yang layak disebut sebagai orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya hanyalah sebatas orang yang mempelajari dan mengajarkan huruf dan lafadz Al-Qur`an, Tajwid dan ilmu Qiro`ahnya semata!  Ini adalah sebuah keyakinan yang salah!

 

Akibat dari meyakini pemahaman yang salah tersebut

Ketika seseorang meyakini keyakinan yang salah ini, maka sangat memungkinkan ia akan merasa cukup bila sudah menguasai ilmu Tajwid dan Qiro`ah atau sudah hafal Al-Qur`an,maka bisa jadi ia akan berhenti ataupun malas dari melanjutkan mempelajari tafsir Al-Qur`an, memahami makna dan penjelasan kandungannya, baik berupa aqidah yang shohihah, ibadah, akhlak karimah serta hukum-hukum Syari’at.

 

Karena ia merasa sudah mengamalkan hadits ini, guna meraih derajat yang terbaik!

 

Tujuan Al-Qur`an diturunkan

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan :

 

فالقرآن الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به

 

“Al-Qur`an itu diturunkan untuk tiga tujuan : beribadah dengan membacanya, memahami makna dan mengamalkannya”

 

Lihatlah, di sini Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menunjukkan tiga perkara yang menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an, tentunya ketiga perkara ini sama-sama pentingnya, sama-sama baiknya, sama-sama menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an!

 

Yang pertama dari tujuan tersebut adalah beribadah kepada Allah dengan membacanya, tentunya membacanya dengan tajwid dan ilmu Qiro`ah,

 

Kedua,  memahami makna atau tafsirnya,

 

Ketiga,  mengamalkannya.

 

Maka -misalnya- ketika seseorang baru meraih salah satu dari tiga perkara itu dengan baik, berarti baru meraih sepertiga dari tujuan diturunkannya Al-Qur`an! Janganlah berhenti sampai di situ saja, teruskan meraih dua perkara yang lainnya.

 

Makna yang benar dari hadits di atas

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu setelah membawakan hadits di atas,lalu menjelaskan maknanya  :

 

وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها , وتعلم معانيه وتعليمها

 

Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup:

 

Mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya

Mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya

وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه , فإن المعنى هو المقصود , واللفظ وسيلة إليه ,

 

Yang terakhir inilah (yaitu no.2, pent.) merupakan jenis mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya yang paling mulia,karena makna Al-Qur`an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al-Qur`an  adalah sarana untuk mencapai maknanya.

 

 فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها

 

Maka  mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan tujuan.

 

وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه  تعلم الوسائل وتعليمها

 

sedangkan mempelajari dan mengajarkan lafadz semata (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan sarana

 

 وبينهما كما بين الغايات والوسائل

 

Dan (perbandingan) diantara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.

 

Kesimpulan :

Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup dua macam sekaligus,yaitu : Lafadz dan maknanya. Berarti kedua-duanya sama-sama pentingnya.

Perbandingan keduanya, seperti perbandingan antara tujuan dan sarana. Berarti, jenis yang satu lebih mulia dari yang lainnya.

Mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya (tafsirnya) lebih mulia dari mempelajari huruf-hurufnya dan mengajarkan huruf-hurufnya saja (tajwidnya semata).

Oleh karena itu, pantaslah jika dua orang yang masyhur disebut sebagai pakar Tafsir di kalangan Sahabat,yaitu: Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selain keduanya, berpandangan bahwa orang yang membaca Al-Qur`an dengan tartil dan mentadabburi (merenungi) maknanya -walaupun sedikit jumlah Ayat Al-Qur`an yang dibacanya- lebih utama daripada orang yang cepat dalam membaca Al-Qur`an, sehingga banyak jumlah Ayat Al-Qur`an yang dibacanya,namun tanpa mentadabburi maknanya.

 

Di zaman Al-Fudhail rahimahullah pun sudah dijumpai adanya orang yang didalam mengamalkan Al-Qur`an lebih kepada “sebatas membacanya semata”,padahal sesungguhnya mengamalkan Al-Qur`an lebih luas daripada sekedar membacanya saja,karena dalam Al-Qur`an terdapat aqidah, ibadah, mu’amalah dan hukum-hukum Islam yang tertuntut untuk kita amalkan.

 

 Berkata Al-Fudhail rahimahullah menuturkan fenomena yang beliau lihat di masanya :

 

إنما نزل القرآن ليعمل به ، فاتخذ الناس قراءته عملا

 

“Sesungguhnya Al-Qur`an diturunkan untuk diamalkan, namun ternyata ada saja orang yang menjadikan (sebatas) membacanya sebagai sebuah bentuk pengamalannya”,

 

Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah setelah membawakan perkataan Al-Fudhail di atas, bertutur :

 

فأهل القرآن هم العالمون به والعاملون بما فيه، لا بمجرد إقامة الحروف

 

“Ahlul Qur`an,mereka adalah orang-orang yang mengetahui maknanya dan mengamalkan isinya,bukan hanya sekedar melafadzkan huruf-hurufnya dengan benar.”

Kisah Atha’ bin Abi Rabah

Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah kaum muslim saat itu sedang bertawaf di Masjdil Haram. Ia bertawaf dengan meninggalkan pakaian agungnya, tanpa alas kaki, tanpa penutup kepala. Hanya memakai pakaian ihram. Tidak ada perbedaan antara dirinya dengan rakyat biasa.

Setelah usai melaksanakan tawaf, sang Khalifah menghampiri seseorang kepercayaannya dan bertanya di manakah keberadaan temannya (Atha’ bin Abi Rabah). Lalu, temannya menjawab, “Di sana, beliau sedang berdiri untuk salat.”

Maka Khalifah diikuti oleh kedua putranya menghampiri tempat yang dimaksud. Saat sampai di tempat yang dimaksud, Khalifah sampai rela duduk bersama banyak orang lainnya untuk menunggu Atha’ selesai salat. Setelah Atha’ menyelesaikan salat, lantas Khalifah langsung menghampirinya dengan mengucapkan salam.

Khalifah bertanya kepadanya perihal manasik haji, rukun-rukunnya, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Atha’ menjawab semua pertanyaan sang Khalifah dan menjelaskan secara terperinci dengan berdasar hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Setelah dirasa cukup dengan pertanyaannya, Khalifah mendoakan agar ia diberi balasan yang lebih baik. Setelah itu, Khalifah undur diri, diikuti oleh kedua putranya untuk menuju tempat sa’i.

Di tengah perjalanan menuju sa’i, kedua putra beliau mendengar seruan seseorang “Wahai kaum muslimin! Tidak ada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.”

Karena sebelumnya anak sang Khalifah tidak mengetahui bahwa yang tadi ia dan ayahnya hampiri adalah Atha’, anak sang Khalifah kemudian menoleh kepada ayahnya dan bertanya mengapa ia dan ayahnya tidak meminta fatwa kepada Atha’ bin Abi Rabah, tapi malah meminta fatwa kepada seorang tua Habsyi dan tidak memberi prioritas kepada ayahnya yang merupakan Khalifah saat itu.

Ayahnya berkata “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah. Orang yang berhak berfatwa di Masjidil Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.”

Kemudian ia melanjutkan “Wahai anakku.. carilah ilmu. Karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat. Para budak bisa melampaui derajat para raja.”.

Dengan demikian,siapakah sebaik-baik orang diantara kalian? Jawabannya : Orang yang mengumpulkan kedua macam aktivitas mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk kedalam barisan orang-orang yang terbaik di masyarakat kita, Aamiin.


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Firman Allah
Bismillahirrahmaanirrahiim
“Artinya : Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Jar majrur (bi ismi) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang.
Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.
Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.
Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah “[1] Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” [2]
Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (Allah).
Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).
Ar-Rahmaan
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata : “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.
Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”
MASALAH
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan ?
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.
Inilah pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini.
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca : “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca : “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca : “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca : “ Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab : “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca : “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [3]
Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyalahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat malam bermakmum di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua membuka shalat dengan membaca : “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca ; ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]
Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
sumber : almanhaj.or.id