2020



Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang anak-anaknya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.” [HR. al-Bukhâri]

Maka orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya.

Dengan demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah

Referensi: https://almanhaj.or.id/3466-orang-tua-bertanggung-jawab.html




Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).

Makna yang begitu dalam dari Hadist yang mulia di atas yang perlu kita perhatikan adalah bahwa sesungguhnya ketiga amalan yang bermanfaat bagi seseorang setelah ia meninggal, tidak lain hanya akan didapat oleh seseorang sebagai buah dari pendidikannya terhadap anak-anaknya. Berbeda dengan amalan lain, yang terkadang tidak mampu mencangkup ketiga hal tersebut.

Seorang anak yang mendapat pendidikan islam dari orang tuanya, orang tuanya mengajarkan shalat, puasa, membaca Al Quran, dan amalan lainnya. Kemudian anak itu pun shalat, puasa, membaca Al Qur’an, dan beramal sesuai apa yang diajarkan orangtuanya.

Maka, orangtuanya pun akan diberikan pahala shalat, sebagaimana pahala shalat anaknya, mendapatkan pahala puasa sebagaiamana puasa anaknya, dan seterusnya. Ini merupakan poin pertama, bahwa mendidik anak adalah pahala jariyah.

Dan apa yang orang tuanya ajarkan berupa ilmu, yang ia beramal dengan imu tersebut merupakan ilmu yang bermanfaat baginya. Sehingga orang tuanya pun mendapatkan pahala yang terus mengalir dari apa yang telah ia ajarkan.

Kemudian hal ketiga, tatkala seorang mendidik anaknya dengan baik dalam pendidikan islam. Iapun akan berbakti kepadanya, dan salah satu bentuk baktinya adalah mendoakannya tatkala ia telah wafat.

عن أَبِي هُريرةَ ، أَنَّ رسولَ اللَّه ﷺ قالَمَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لا يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أُجُورِهِم شَيْئًا، ومَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لا يَنْقُصُ ذلكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا رواه مسلم

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang menunjuki kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikitpun. Barang siapa yang menunjuki kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang tersebut sedikitpun. (HR. Muslim)

Barang siapa yang belajar dari orang tuanya keburukan, meminum khamr misalnya atau menonton film atau video porno. Maka bagi orangtuanyalah dosa, sebagaimana dosa anaknya yang melakukan perbuatan buruk tersebut. Na’udzubillah…

Semoga kita Allah jadikan orang tua yang selalu mengajarkan dan mengajak anak2 kita kepada kebaikan dan kebenaran, sehingga kita termasuk orang yang mendapat pahala yang terus mengalir walaupun kita sudah wafat. Aamiiin…



Menurut bahasa kata Al Qur’an merupakan mashdar yang maknanya sinonim dengan kata qira’ah (bacaan). Al Qur’an dengan arti qira’ah ini, sebagaimana dipakai dalam ayat 17, 18 surat Al Qiyamah:

إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ   فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ 

Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”

Paling tidak ada lima pendapat para ulama yang menerangkan pengertian Al Qur’an menurut bahasa ini, yakni:

1)    Al-Lihyani (wafat 355 H) dan kebanyakan ulama mengatakan bahwa kata Al Qur’an itu adalah lafal mashdar yang semakna dengan lafal qiraa’atan, ikut wazan fu’lana yang diambil dari lafal: Qira’a-yaqra’u-qiraa’atan dan seperti lafal: Syakara-syukraana dan Ghafara-Ghufraana dengan arti kumpul atau menjadi satu. Sebab, huruf-huruf dan lafal-lafal ada kalimat Al Qur’an yang terkumpul menjadi satu dalam mushhaf.

Dengan demikian, kata Qur’an berupa Mahmuz yang hamzahnya asli dan “nun”nya zaidah (tambahan). Contohnya seperti dalam ayat 17-18 surat Al Qiyamah.

2)    Az-Zujaj (wafat 311 H) mengatakan bahwa lafal Al Qur’an itu berupa isim sifat, ikut wazan fu’lan, yang diambil dari kata: Al Qar’u yang berarti kumpul pula. Sebab, semua ayat, surat, hukum-hukum, dan kisah-kisah Al Qur’an itu berkumpul menjadi  satu. Al Qur’an mengumpulkan intisari semua kitab-kitab suci dan seluruh ilmu pengetahuan.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam ayat 89 surat An-Nahl dan ayat 38 surat Al An’am:

وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ  ٨٩

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَٰٓئِرٖ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ يُحۡشَرُونَ  ٣٨

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”

3)    Abu Musa Al-Asy’ari (wafat (324 H) mengatakan bahwa lafal Qur’an itu adalah isim musytaq ikut wazan fu’lan, yang diambil dari kata al-qarnu seperti dari kalimat: Qarantu Asy-Sya’ia bis Sya’i, yang berarti “Saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.” Kitab Al Qur’an dinamakan demikian, karena ayat-ayat, surat-surat dan huruf-hurufnya berkumpul menjadi satu dalam mushaf Al Qur’an itu. Jadi, menurut pendapat ini, lafal Qur’an itu bukan isim mahmuz, sehingga “nun”nya asli, dengan hamzahnya zaidah.

4)    Al-Farra’ (wafat 207 H) mengatakan bahwa kata Al Qur’an itu berupa isian musytaq ikut wazan fu’lan, diambil dari lafal Al Qura’in, bentuk jamak dari qarinah yang berarti bukti. Kitab Qur’an dinamakan demikian, karena sebagiannya membuktikan kebenaran sebagian yang lain. Jadi, menurut pendapat ini, lafal Qur’an juga bukan isim mahmuz, sehingga hamzahnya zaidah dan “nun”nya yang asli.

5)    Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H) berpendirian bahwa lafal Qur’an itu bukan isim musytaq yang diambil dari kata yang lain, melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak mula diciptakannya sudah berupa isim alam (nama), yakni nama dari kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan selalu disertai dengan alif lam atau “al”. jadi, bukan isim mahmuz, dan bukan isim musytaq, serta tidak pernah lepas dari “al” (alif dan lam).

 

Dari kelima pendapat tersebut, pendapat pertama yang lebih tepat. Sebab, pendapat pertama tersebut relevan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ilmu sharaf, sedangkan empat pendapat yang lain terlepas dari kaidah-kaidah nahwu dan syaraf serta tidak relevan dengan ungkapan bahasa Arab.

Kata Al Qur’an itu dipindahkan dari makna masdar ini dan dijadikan sebagai nama dari Kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Jadi, kata Al Qur’an adalah dari bentuk mengucapkan masdar, tetapi yang dikehendaki dari kata maf’ul (yang dibaca).

 

Menurut istilah, Al Qur’an itu mempunyai arti sebagai berikut:

Pertama, para ahli Ilmu Kalam (teologi Islam) berpendapat, Al Qur’an adalah kalimat-kalimat yang maha bijaksana yang azali yang tersusun dari huruf-huruf lafdhiyah, dzihniyah dan ruhiyah atau Al Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari awal surat Al Fatihah sampai dengan surat An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan dan azali.

Kedua, para Ulama Ushuliyyin, fuqaha dan Ulama Ahli Bahasa, berpendapat bahwa Al Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai awal dari Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. Di antara mereka ada yang memberikan definisi Al Qur’an dengan singkat dan padat, yang hanya dengan menyebutkan satu atau dua identitasnya saja, seperti: “Al Qur’an adalah Kalam yang dirutunkan kepada Nabi” Dan “Al Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi dari awal Surat Al Fatihah sampai surat An Nas.”

Menurut Ali Ash-Shabuni, Al quran didefinisikan sebagai suatu firman dari Allah Swt. yang tidak ada tandingannya, diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang merupakan penutup para nabi dan rasul melalui perantara malaikat Jibril.

Al quran ditulis pada mushaf-mushaf dan lalu disampaikan kepada kita penerus umat secara mutawatir. Sementara itu, membaca dan memahami Al quran bernilai ibadah

Menurut Dr. Subhi As-Salih, Al quran merupakan kalam Allah Swt. yang merupakan mukjizat dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.

Menurut Syekh Muhammad Khuderi Beik, Al quran adalah firman dari Allah Swt. yang berbahasa Arab dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dipahami isinya, disampaikan kepada penerus umat secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surat An-Naas

Dr. A. Yusuf Al-Qasim memberikan definisi Al Qur’an secara panjang lebar dengan menyebutkan identitasnya: “Al Qur’an ialah Kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushhaf yang diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya adalah ibadah”

Demikian secara panjang lebar dijelaskan definisi Al Qur’an. Pendefinisian Al Qur’an tersebut mencakup unsur-unsur yang i’jaz, diturunkan kepada Nabi, tertulis di dalam mushhaf-mushhaf, diriwayatkan dengan mutawatir dan membacanya adalah ibadah. Inilah keistimewaan-keistimewaan agung yang membedakan Al Qur’an dengan kitab-kitab samawiyah yang lain

 


Biografi rawi hadist

Utsman bn Affan, beliau adalah amirul mu’minin, Abu Abdillah, ada yang mengatakan Abu Amr, Utsman bin Affan bin Abi Al ‘Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdil Manaf bin Qushoy bin Kilaab  Al Umawiy  Al Qurosy .

Ada yang mengatakan, dahulu pada masa jahiliyah kunyahnya adalah Abu Amr. Ketika Ruqoyyah binti Rasulillah melahirkan Abdullah, maka beliau berkunyah dengan nama tersebut.

Ibunya adalah Arwa binti Kuraizi bin Rabi’ah bin Habib bin Abdi Syams. Beliaun masuk islam diawal islam, melalui sahabat beliau yaitu Abu Bakar beliau mengutarakan keinginannya unruk masuk islam. Kemudian Abu Bakr membawa beliau untuk menemui Rasulullah, dan beliau menucapkan syahadat didepan Rasulullah.

Beliau berhijarah ke Habaysah pada masa islam terpuruk di makkah, dan kembali setelah keadaan mulai sedikit membaik. Dan hijrah ke Madinah bersama rombongan gelombang ketiga kaum muslimin yang berhijrah ke madinah.

Beliau tidak mengikuti perang Badr, karena istri beliau sedang sakit. Dan tidak menghadiri baiatur ridwan, karena beliau diutus Rasulullah untuk menemui Abu Sofyan dan pembesar Kaum Quraisy.

Beliau dijuluki Dzun Nurain, karena beliau menikahi dua putri Rasulullah yaitu Ruqoyyah dan Ummu Kultsum.

Beliau diangkat menjadi khalifah di awal hari bulan muharam tahun 24 H, dan dibunuh pada hari jumat tanggal 18 Dzul hijjah tahun 35 H ada yang mengatakan tanggal 13. Beliau dibunuh oleh Al Aswad  At Tajibiy dari mesir, ada yang mengatakan orang lain dari kelompok orang yang menyerang beliau di rumah beliau sendiri. Dan dimakamkan pada malam sabtu di baqi, beliau wafat pada umur 82 tahun da nada yang mengatakan 88 tahun da nada yang mengatakan 90 tahun. Beliau menjabat menjadi khalifah selama 12 tahun kurang beberapa hari.

Hadist :

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .

 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”

Dalam hadits riwayat Al-Bukhari dari Utsman bin Affan, tetapi dalam redaksi yang agak berbeda, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .

“Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”

Dalam dua hadits di atas, terdapat dua amalan yang dapat membuat seorang muslim menjadi yang terbaik di antara saudara-saudaranya sesama muslim lainnya, yaitu belajar Al-Qur`an dan mengajarkan Al-Qur`an. 

Al-Qur`an adalah kalam Allah, sebagai mana zat Allah yang agung dan sempurna. Maka, Al Qur'an pun merupakan kalam yang paling sempurna dan tidak ada kekurangan didalamnya.  

Karena keutamaan yang tinggi inilah, yang membuat Abu Abdirrahman As-Sulami –salah seorang yang meriwayatkan hadits ini– rela belajar dan mengajarkan Al-Qur`an sejak zaman Utsman bin Affan hingga masa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.

Hadis ini menunjukkan akan keutamaan membaca Alquran. Suatu ketika Sufyan Tsauri ditanya, manakah yang engkau cintai orang yang berperang atau yang membaca Alquran? Ia berkata, membaca Alquran, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”.

Imam Abu Abdurrahman As-Sulami tetap mengajarkan Alquran selama empat puluh tahun di mesjid agung Kufah disebabkan karena ia telah mendengar hadis ini. Setiap kali ia meriwayatkan hadis ini, selalu berkata: “Inilah yang mendudukkan aku di kursi ini”.

Al Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya Fadhail Quran halaman 126-127 berkata: [Maksud dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkan kepada orang lain” adalah, bahwa ini sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang menular kepada orang lain.

Pemahaman yang salah!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhori).

 

Di antara pemahaman yang salah dalam memahami hadis di atas adalah membatasi golongan manusia yang layak disebut sebagai orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya hanyalah sebatas orang yang mempelajari dan mengajarkan huruf dan lafadz Al-Qur`an, Tajwid dan ilmu Qiro`ahnya semata!  Ini adalah sebuah keyakinan yang salah!

 

Akibat dari meyakini pemahaman yang salah tersebut

Ketika seseorang meyakini keyakinan yang salah ini, maka sangat memungkinkan ia akan merasa cukup bila sudah menguasai ilmu Tajwid dan Qiro`ah atau sudah hafal Al-Qur`an,maka bisa jadi ia akan berhenti ataupun malas dari melanjutkan mempelajari tafsir Al-Qur`an, memahami makna dan penjelasan kandungannya, baik berupa aqidah yang shohihah, ibadah, akhlak karimah serta hukum-hukum Syari’at.

 

Karena ia merasa sudah mengamalkan hadits ini, guna meraih derajat yang terbaik!

 

Tujuan Al-Qur`an diturunkan

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan :

 

فالقرآن الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به

 

“Al-Qur`an itu diturunkan untuk tiga tujuan : beribadah dengan membacanya, memahami makna dan mengamalkannya”

 

Lihatlah, di sini Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menunjukkan tiga perkara yang menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an, tentunya ketiga perkara ini sama-sama pentingnya, sama-sama baiknya, sama-sama menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an!

 

Yang pertama dari tujuan tersebut adalah beribadah kepada Allah dengan membacanya, tentunya membacanya dengan tajwid dan ilmu Qiro`ah,

 

Kedua,  memahami makna atau tafsirnya,

 

Ketiga,  mengamalkannya.

 

Maka -misalnya- ketika seseorang baru meraih salah satu dari tiga perkara itu dengan baik, berarti baru meraih sepertiga dari tujuan diturunkannya Al-Qur`an! Janganlah berhenti sampai di situ saja, teruskan meraih dua perkara yang lainnya.

 

Makna yang benar dari hadits di atas

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu setelah membawakan hadits di atas,lalu menjelaskan maknanya  :

 

وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها , وتعلم معانيه وتعليمها

 

Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup:

 

Mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya

Mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya

وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه , فإن المعنى هو المقصود , واللفظ وسيلة إليه ,

 

Yang terakhir inilah (yaitu no.2, pent.) merupakan jenis mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya yang paling mulia,karena makna Al-Qur`an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al-Qur`an  adalah sarana untuk mencapai maknanya.

 

 فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها

 

Maka  mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan tujuan.

 

وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه  تعلم الوسائل وتعليمها

 

sedangkan mempelajari dan mengajarkan lafadz semata (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan sarana

 

 وبينهما كما بين الغايات والوسائل

 

Dan (perbandingan) diantara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.

 

Kesimpulan :

Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup dua macam sekaligus,yaitu : Lafadz dan maknanya. Berarti kedua-duanya sama-sama pentingnya.

Perbandingan keduanya, seperti perbandingan antara tujuan dan sarana. Berarti, jenis yang satu lebih mulia dari yang lainnya.

Mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya (tafsirnya) lebih mulia dari mempelajari huruf-hurufnya dan mengajarkan huruf-hurufnya saja (tajwidnya semata).

Oleh karena itu, pantaslah jika dua orang yang masyhur disebut sebagai pakar Tafsir di kalangan Sahabat,yaitu: Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selain keduanya, berpandangan bahwa orang yang membaca Al-Qur`an dengan tartil dan mentadabburi (merenungi) maknanya -walaupun sedikit jumlah Ayat Al-Qur`an yang dibacanya- lebih utama daripada orang yang cepat dalam membaca Al-Qur`an, sehingga banyak jumlah Ayat Al-Qur`an yang dibacanya,namun tanpa mentadabburi maknanya.

 

Di zaman Al-Fudhail rahimahullah pun sudah dijumpai adanya orang yang didalam mengamalkan Al-Qur`an lebih kepada “sebatas membacanya semata”,padahal sesungguhnya mengamalkan Al-Qur`an lebih luas daripada sekedar membacanya saja,karena dalam Al-Qur`an terdapat aqidah, ibadah, mu’amalah dan hukum-hukum Islam yang tertuntut untuk kita amalkan.

 

 Berkata Al-Fudhail rahimahullah menuturkan fenomena yang beliau lihat di masanya :

 

إنما نزل القرآن ليعمل به ، فاتخذ الناس قراءته عملا

 

“Sesungguhnya Al-Qur`an diturunkan untuk diamalkan, namun ternyata ada saja orang yang menjadikan (sebatas) membacanya sebagai sebuah bentuk pengamalannya”,

 

Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah setelah membawakan perkataan Al-Fudhail di atas, bertutur :

 

فأهل القرآن هم العالمون به والعاملون بما فيه، لا بمجرد إقامة الحروف

 

“Ahlul Qur`an,mereka adalah orang-orang yang mengetahui maknanya dan mengamalkan isinya,bukan hanya sekedar melafadzkan huruf-hurufnya dengan benar.”

Kisah Atha’ bin Abi Rabah

Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah kaum muslim saat itu sedang bertawaf di Masjdil Haram. Ia bertawaf dengan meninggalkan pakaian agungnya, tanpa alas kaki, tanpa penutup kepala. Hanya memakai pakaian ihram. Tidak ada perbedaan antara dirinya dengan rakyat biasa.

Setelah usai melaksanakan tawaf, sang Khalifah menghampiri seseorang kepercayaannya dan bertanya di manakah keberadaan temannya (Atha’ bin Abi Rabah). Lalu, temannya menjawab, “Di sana, beliau sedang berdiri untuk salat.”

Maka Khalifah diikuti oleh kedua putranya menghampiri tempat yang dimaksud. Saat sampai di tempat yang dimaksud, Khalifah sampai rela duduk bersama banyak orang lainnya untuk menunggu Atha’ selesai salat. Setelah Atha’ menyelesaikan salat, lantas Khalifah langsung menghampirinya dengan mengucapkan salam.

Khalifah bertanya kepadanya perihal manasik haji, rukun-rukunnya, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Atha’ menjawab semua pertanyaan sang Khalifah dan menjelaskan secara terperinci dengan berdasar hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Setelah dirasa cukup dengan pertanyaannya, Khalifah mendoakan agar ia diberi balasan yang lebih baik. Setelah itu, Khalifah undur diri, diikuti oleh kedua putranya untuk menuju tempat sa’i.

Di tengah perjalanan menuju sa’i, kedua putra beliau mendengar seruan seseorang “Wahai kaum muslimin! Tidak ada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.”

Karena sebelumnya anak sang Khalifah tidak mengetahui bahwa yang tadi ia dan ayahnya hampiri adalah Atha’, anak sang Khalifah kemudian menoleh kepada ayahnya dan bertanya mengapa ia dan ayahnya tidak meminta fatwa kepada Atha’ bin Abi Rabah, tapi malah meminta fatwa kepada seorang tua Habsyi dan tidak memberi prioritas kepada ayahnya yang merupakan Khalifah saat itu.

Ayahnya berkata “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah. Orang yang berhak berfatwa di Masjidil Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.”

Kemudian ia melanjutkan “Wahai anakku.. carilah ilmu. Karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat. Para budak bisa melampaui derajat para raja.”.

Dengan demikian,siapakah sebaik-baik orang diantara kalian? Jawabannya : Orang yang mengumpulkan kedua macam aktivitas mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk kedalam barisan orang-orang yang terbaik di masyarakat kita, Aamiin.





Program Gerakan Sarapan Berkah adalah program rutin lazis aba untuk memberikan sarapan kepada para pencari nafkah di pagi hari


Nasi putih hangat, didampingi lauk-pauk nikmat. Sebut saja Ayam Goreng, Ayam Kecap, Ayam Opor dipadu padankan dengan lauk pendamping seperti tempe orek, kentang balado, dan bihun goreng. Lengkap dengan sayur dan sambal. Yummii... Lezat !!

Itulah menu-menu yang kita sajikan dalam Gerakan Sarapan Berkah untuk para pemulung, pedagang keliling, pengemudi ojek online, supir angkot, penyapu taman, serta para pencari nafkah harian lainnya dipagi hari.


Apa itu Gerakan Sarapan Berkah (GSB)?

Sebuah gerakan sedekah dengan memberikan sarapan pagi kepada pemulung, tukang sampah, pedagang kecil dan pedagang keliling, ojek online serta penerima manfaat lainnya yang membutuhkan . Dengan mengharap keberkahan dari Allah, Sarapan pagi yang kami berikan terdapat syiar yang kami cantumkan dikemasan nasi box. “Sungguh Allah sayang padamu, Rizki ini diantar langsung oleh Nya ke tangan mu. Bersyukurlah, segera temui Dia dalam shalat mu.”  Begitulah salah satu kalimat  syiar LAZIS ABA, Dan setiap harapan dan doa dari donator kami , para penerima manfaat mendoakan untuk para muhsinin tersebut .


Secara umum sedekah merupakan amalan yang senantiasa dianjurkan dalam al-Qur’an dan hadist, akan tetapi ada yang menarik disini, yakni Allah dengan tegas menyebutkan “memberi makan orang miskin” dalam Surah Al Maa’uun, yang mana jika kita artikan secara sederhana bahwa Allah dengan tegas menyebutkan sedekah makanan kepada orang miskin merupakan sedekah yang sangat di anjurkan bahkan jika enggan melakukan atau sekedar menganjurkan, maka Allah ancam sebagai orang yang telah mendustakan Agama.

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’  dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maa’uun: 1-7)

Dan mengapa di pagi hari? 

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Doa malaikat adalah doa yang mustajab, benar-benar mudah diijabahi atau dikabulkan. Untuk itu mari kita mengambil kebaikan dipagi hari dengan ikut berdonasi melalui Gerakan Sarapan Berkah Rp. 15.000,-/ Box.

Donasi Sekarang

 


عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )). رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهْ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيّ النَّيْسَابُوْرِيّ، فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ اْلمُصَنَّفَةِ


Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab adia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.” (Diriwayatkan oleh dua Imamnya para ahli hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj  bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi dalam dua kitab shahih mereka, yang keduanya merupakan kitab yang paling shahih diantara kitab-kitab yang ada.).[1]

[1]  Diriwayatkan oleh al Bukhari (1) dan Muslim (1907).

Hadist ini adalah hadist yang begitu agung.

Berkata Imam Asy Syafi'i Rahimahullahu : " Hadist ini merupakan Sepertiga Ilmu, dan masuk ke dalam 70 bab dalam pembahasan ilmu fikih"

Berkata Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullahu : "Tidak ada satupun berita (Hadist) dari Nabi Shalallahu 'alaihi Wa Sallam yang lebih mujma', lebih berharga, atau lebih banyak faidahnya dari hadist ini".

Dan Imam Ibnu Daqiq Al 'Aid Rahimahullahu menyebutkan alasan hal itu (Pernyataan Imam Ahmad) dengan mengatakan :" Karena jika seseorang melakukan perbuatan, pasti melakukannya dengan Hatinya, Lisannya, dan anggota badannya. Dan niat adalah salah satu jenis perbuatan dari tiga hal tersebut"

Hadist ini keluar karena disebabkan adanya salah seorang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah bukan karena ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Akan tetapi, karena dirinya mengejar seorang gadis yang ikut berhijrah bersama para sahabat yang bernama Ummu Qais.

Kisah berawal dari Ummu Qais, seorang wanita cantik dari Makkah yang menolak lamaran seorang pria.

Ketika ada risalah yang memrintahkan hijrah, Ummu Qais ikut bersama Rasulullah ke Madinah. Mengetahui hal tersebut, sang pelamar yang menyukainya ikut berhijrah.

Dari sana-lah, pria tersebut disebut Muhajjir Ummu Qais (orang yang behijrah karena Ummu Qais)

Para ulama menukil kisah seseorang yang hijrah dari Makkah ke Madinah, menjadi Asbabul Wurud (sebab dibicarakan) hadits tentang niat tersebut.

Imam Nawawi bercerita. “Ia (muhajjir Ummu Qais) tidak menghendaki, dengan hijrahnya itu. Ia hanya berhijrah supaya bisa menikah dengan seorang wanita bernama Ummu Qais. Sehingga ia dijuluki dengan Muhajir Ummu Qais. 


Makna Hadist :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Benar dan rusaknya amal itu tergantung niatnya. Barangsiapa yang niatnya benar, maka baginya pahala dan ganjaran dari Alloh Subhanahu wa ta'aalaa. dan barangsiapa yang niatnya buruk, maka tidak ada baginya pahala dan ganjaran kebaikan. Dan barangsiapa berniat sesuatu maka ia tidak akan mendapatkan selainnya.

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ

Maksudnya adalah barangsiapa yang berhijrah karena mengharap wajah Allah dan ingin mengikuti Rasulullah. Maka, Hijrahnya kepada Allah dan RasulNya mendapatkan pahala dan balasan kebaikan. Demikian juga semua jenis amal sholih, barangsiapa beramal karena Allah maka akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika amal tersebut untuk selain itu, baik itu karena dunia, kedudukan,  syahwat, dan sum'ah maka tidak ada pahala sama sekali baginya.

وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Maksudnya barangsiapa yang berhijrah karena meninginkan dunia atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya tersebut akan mendapatkan apa yang ia niatkan tersebut dan tidak ada pahala baginya sama sekali. Tidak ada balasan kebaikan dari Allah Subhaanahu wa ta'aalaa, begitupula semua amal sholih. Baik itu beruba amal ketaatan atau amalan yang mubah yang diniatkan untuk selain Allah, maka amal ini tidak mendapatkan balasan kebaikan maupun pahala darinya.

Faidah Hadist :

1. Asal dari diterimanya amal adalah Ikhlas, Allah tidak akan menerima amal yang dikerjakan tanpa ikhlas kepadaNya.

2. Orang yang melakukan amal sholih, akan tetapi tidak berniat mendapatkan pahala dan balasan kebaikan dari Allah maka dia tidak akan diberikan ganjaran pahala

3. Demikian juga, barangsiapa melakukan amal ketaatan atau selainnya akan tetapi ia beniat bersama dengan Allah sesuatu yang lain (berbuat Syirik), maka ia juga tidak akan diberikan pahala.

4. Seseorang yang beramal dengan amalan mubah atau perkara dunia, akan tetapi ia beniat untuk mendekatkan diri kepada Allah maka ia akan diberikan ganjaran berupa pahala.